Rasio Utang

Rasio Utang

Undang Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio  utang terhadap PDB maksimal 60%.

Di Era Presiden SBY (2005-2014), beban utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo rata-rata mencapai 32,9% dari penerimaan perpajakan setiap tahun.

Di Era Presiden Jokowi (2015-2022), rasio mencapai 47,4% artinya hampir setengah dari Penerimaan Pajak diprioritaskan untuk Membayar BEBAN Utang sehingga ruang fiskal menjadi sangat terbatas.

Pada akhir tahun 2023, total utang Indonesia Rp 8.145 Triliun dengan rasio utang terhadap PDB 38,98%

Untuk mengukur tingkat kesehatan utang, tidak hanya sekedar membandingkan rasio utang terhadap PDB Indonesia dengan negara lain.

Contoh Jepang tingkat rasio utang terhadap PDB mencapai 200% lebih, namun kategori risiko utangnya cenderung rendah karena lebih dari 90% dari jumlah utang tersebut merupakan Obligasi atau Surat Utang yang dimiliki oleh Masyarakat Jepang sendiri.

Sedangkan Indonesia meski rasio Utang terhadap PDB jauh lebih rendah, namun tingkat Surat Utang oleh Asing dan Pinjaman  Luar Negeri masih berada di kisaran 30% sehingga tingkat kerentanan terhadap Fluktuasi Nilai Tukar dan Tren Suku Bunga Global menjadi Lebih Tinggi.

Saat ini hampir seperempat belanja atau 19.6% dari total belanja Pemerintah Pusat habis untuk bayar Kewajiban Bunga Utang. Apalagi terdapat kenaikan Suku Bunga Global dan Domestik yang berdampak naiknya Beban Bunga Utang.

Beban Bunga Utang Pemerintah seharusnya dibatasi maksimal 10% dari Penerimaan Perpajakan. Pembayaran bunga utang pemerintah telah menembus Rp 400 Triliun per tahun (jumlah itu lebih dari 20% total penerimaan Perpajakan tahunan).

Di tahun 2024, rasio pembayaran utang (Debt to Service Ratio) telah mencapai 39% (tanda keuangan Pemerintah pada mode Gali Lubang Tutup Lubang).

Di Bulan Januari dan Pebruari 2024, Pemerintah mengeluarkan Rp 69 Triliun untuk membayar Bunga Utang, angka tersebut naik 37% dibandingkan pada periode yang sama tahun 2023 yaitu Rp 50,3 Triliun. Peningkatan pembayaran bunga terjadi karena utang negara terus membengkak.

Tahun 2024, Pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang Rp 497 Triliun vs anggaran kesehatan Rp 187,5 Triliun artinya pemerintah menghabiskan lebih banyak dana untuk membayar Bunga Utang dibandingkan membiayai Program Kesehatan Masyarakat.

Selama ini Pemerintah lebih berpaku pada patokan Rasio Utang terhadap PDB masih aman karena berada di bawah batas maksimal 60%.

Harusnya untuk mengukur Kerentanan Utang bisa menggunakan

1. Rasio Pembayaran Utang terhadap Penerimaan Negara (Debt Service to Revenue)

2. Rasio Pembayaran Bunga terhadap Penerimaan Negara (Interest to Revenue)

3. Rasio Utang terhadap Penerimaan Negara (Debt to Revenue)

Rasio Utang terhadap Penerimaan Negara pada tahun 2015-2020, berada ditentang 210-369%, melebihi ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 92-167%

Rasio Pembayaran Bunga Utang terhadap Penerimaan Negara pada tahun 2015 mencapai 10,35%, pada tahun 2020 naik menjadi 19,06%, jauh melampaui ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 10%

Rasio Utang terhadap Penerimaan negara di masa pemerintahan Jokowi berada di rentang 25,35 – 46,77%, telah melampaui ambang batas yang ditetapkan IMF sebesar 35%.

Trend kenaikan rasio pembayaran utang terhadap penerimaan negara menunjukkan saldo utang melonjak lebih cepat dibandingkan pertumbuhan penerimaan negara.

Belum lagi Pemerintah gencar menerbitkan Surat Utang Negara dengan imbal hasil tinggi akibatnya pasar menganggap investasi di Indonesia berisiko lebih besar ketimbang negara berkembang lainnya sehingga investor menuntut bunga lebih tinggi.

Imbal hasil obligasi pemerintah jangka 10 tahun mencapai 7,2%, sedangkan yield obligasi pemerintah Vietnam jangka 10 tahun hanya 2,85%.

Belum lagi bila menilik utang Pemerintah dipakai untuk pembangunan IKN, belanja alat utama sistem persenjataan dan makan siang gratis (makan pagi bergizi) yang bisa mengakibatkan APBN jebol.

Belum lagi Pemerintahan Prabowo yang berencana menaikkan rasio pajak (tax ratio) melalui Pembentukan Badan Penerimaan Negara.

PDB merupakan potensi penerimaan Pemerintah, sedangkan penerimaan pemerintah aktual tercermin pada rasio pajak (tax ratio)

Tax Ratio merupakan perbandingan antara Penerimaan pajak dan PDB dalam waktu tertentu.

Contoh

Tax Ratio Indonesia berada dikisaran 10% dari PDB, sedangkan Jepang dikisaran 35% dari PDB, Amerika dikisaran 30% dari PDB. Membandingkan rasio utang Pemerintah Indonesia secara langsung dengan negara lain tanpa memperhatikan kemampuan utang menjadi tidak tepat.

Lebih tepat untuk menilai beban utang adalah rasio antara Bunga Utang serta Cicilan Pokok Utang dan Penerimaan Perpajakan, yang lebih mencerminkan Pendapatan Pemerintah yang Real.

Jika membandingkan biaya dari Utang terhadap penerimaan perpajakan, meski stok utang terhadap PDB masih terjaga, tampak beban utang terhadap keuangan negara berada pada tingkat yang memberatkan.

Pada era Pemerintahan SBY (2004-2009) tax Ratio mencapai rata-rata 11,56% terhadap PDB. Di era Kedua SBY (2009-2014) tax ratio turun menjadi 11,04%.

Selama masa pemerintahan Jokowi (2014-2019) tax ratio sebesar 10,2% terhadap PDB, era Jokowi (2019-2023) tax Ratio 10,3% dari PDB.

Sedangkan Prabowo menargetkan tax Ratio menjadi 23% dari PDB, target yang sangat optimis walau banyak yang meragukan target tersebut bisa dicapai.

Berdasarkan rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, rasio utang ditargetkan naik menjadi 39,77% – 40,14% terhadap PDB dimana rasio ini hampir menyamai rasio utang pada masa Covid-19 di 2021 yaitu 40,7% terhadap PDB.

Hingga akhir Feb 2024, jumlah Utang pemerintah mencapai Rp 8.319 Triliun dengan rasio utang pemerintah ditargetkan 38,26% terhadap PDB.

Defisit anggaran 2025 ditargetkan sebesar 2,45%-2,8% dari PDB, angka tersebut meningkat dibandingkan defisit tahun ini yang diestimasi mencapai 2,29% persen dari PDB.

Jika Anda ingin bergabung Menjadi VIP Member Sahamdaily, klik link dibawah ini:

Join Membership

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *